Cukai

Sejarah Pungutan Cukai


Sejarah pemungutan cukai (excise tax) modern diawali oleh bangsa Holland (bagian dari negara Netherland) yang pertama kali mengembangkan pungutan cukai dalam bentuk pungutan pajak modern yang dikelola oleh penguasa pada sekitar abad ke 17. Kemudian disusul Inggris yang menetapkan aturan tentang pungutan cukai secara resmi dalam bentuk perundang-undangan pada tahun 1643 dalam rangka meningkatkan pendapatan pemerintahnya. Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan pungutan cukai pertama kali terhadap produk distilled spirits (minuman beralkohol) pada tahun 1791 (Encarta, 2006).

Sejarah pemungutan cukai pertama di Indonesia dimulai pada zaman kolonial Belanda pada tahun 1886 terhadap minyak tanah berdasarkan Ordonnantie
van 27 Desember 1886, Stbl. 1886 Nomor 249. Selanjutnya pungutan cukai lainnya diberlakukan terhadap komoditi tertentu lainnya, sebagai berikut :

*
Alkohol Sulingan, berdasarkan Ordonnantie Van 27 Februari 1898, Stbl. 1898 Nomor 90 en 92;
*
Bir, berdasarkan Bieraccijns Ordonnantie, Stbl. 1931 Nomor 488 en 489;
*
Tembakau, berdasarkan Tabsacccijns Ordonnantie, Stbl. 1932 Nomor 517;
*
Gula, berdasarkan Suikeraccijns Ordonnantie, Stbl. 1933 Nomor 351.

Dalam perkembangannya produk hukum warisan kolonial Belanda tersebut beserta peraturan pelaksanaannya masih diberlakukan hingga tahun 1995 meskipun bangsa Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945. Hal tersebut dimungkinkan dengan adanya ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.

Pemberlakuan ordonansi cukai produk kolonial Belanda pasca kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki banyak kekurangan dan tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945, antara lain :

1.
diskriminatif;
2.
obyeknya terbatas;
3.
tidak sejalan dengan tuntutan pembangunan;
4.
tidak mencerminkan semangat kemandirian.

Pengertian diskriminatif adalah adanya pemberlakuan ketentuan cukai yang berbeda untuk kelima obyek cukai tersebut apabila diimpor dari luar negeri, yaitu untuk gula, hasil tembakau, dan minyak tanah dikenai cukai atas pengimporannya sedangkan bir dan alkohol sulingan tidak dikenakan cukai. Kondisi lain yang diskriminatif adalah pemberlakuan ordonansi cukai alkohol sulingan eksklusif hanya untuk Pulau Jawa dan Madura saja, sementara wilayah lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak berlaku.

Pengertian obyek yang terbatas bahwa pemberlakuan ordonansi cukai lama hanya terbatas pada kelima jenis barang dan Undang-undang tersebut tidak memberikan kemungkinan adanya perluasan obyek cukai. Hal ini memberikan ruang gerak yang terbatas bagi pemerintah untuk menggali potensi penerimaan yang ada, khususnya terhadap komoditi-komoditi yang harus dikontrol atau dibatasi peredarannya.

Berkaitan dengan tuntutan pembangunan dan semangat kemandirian, diperlukan suatu peraturan perundang-undangan tentang cukai yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam rangka menggantikan produk-produk hukum kolonial Belanda yang sudah tidak relevan lagi digunakan. Untuk itulah segala upaya dan pemikiran dikerahkan oleh pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyusun suatu Undang-undang tentang cukai yang sesuai dengan perkembangan jaman dan sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945.

Sejak tanggal 1 April 1996 Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai resmi diberlakukan menggantikan kelima ordonansi cukai lama. Dalam Undang-undang tersebut diatur suatu ketentuan baru tentang cukai yang terintegrasi dan mengatur hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah ada, antara lain: ketentuan sanksi administrasi, lembaga banding, audit di bidang cukai, penyidikan, pengawasan fisik dan administratif, serta kemungkinan untuk memperluas obyek cukai. Materi Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 selain bertujuan membina dan mengatur juga memperhatikan prinsip-prinsip:

1.
Keadilan dalam keseimbangan, yaitu kewajiban cukai hanya dibebankan kepada orang-orang yang memang seharusnya diwajibkan dan diterapkan secara sama dalam hal dan kondisi yang sama;
2.
Pemberian insentif yang bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian nasional berupa fasilitas pembebasan cukai;
3.
Pembatasan dalam rangka perlindungan masyarakat di bidang kesehatan, ketertiban, dan keamanan;
4.
Netral dalam pemungutan cukai yang tidak menimbulkan distorsi pada perekonomian nasional;
5.
Kelayakan administrasi dengan maksud agar pelaksanaan administrasi cukai dapat dilaksanakan secara tertib, terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat;
6.
Kepentingan penerimaan negara, dalam arti bahwa fleksibilitas ketentuan Undang-undang ini dapat menjamin peningkatan penerimaan negara;
7.
Pengawasan dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.

Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi nasional dan kebijakan politik pemerintah diperlukan suatu perubahan terhadap Undang-undang cukai agar mampu menampung dan memberdayakan peranan cukai sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Amandemen terhadap Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai dilaksanakan dengan pengesahan Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 yang mulai berlaku pada tanggal 15 Agustus 2007. Beberapa materi perubahan dalam amandemen Undang-undang tentang Cukai tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.
Perluasan cara pelunasan cukai yang lebih akomodatif untuk menyesuaikan dengan praktek bisnis tanpa mengabaikan pengamanan hak-hak negara;
2.
Penyempurnaan sistem penagihan utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda dengan menambahkan skema pembayaran secara angsuran;
3.
Menghapus ketentuan yang mengatur lembaga banding untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang mengatur mengenai Badan Peradilan Pajak;
4.
Penyelenggaraan pembukuan yang diselaraskan dengan perkembangan zaman dan ketentuan audit cukai;
5.
Penegasan penggunaan dokumen cukai dan dokumen pelengkap cukai dalam bentuk data elektronik dan sanksi terhadap pelanggaran terhadap pihak yang mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang cukai secara tidak sah;
6.
Pengaturan tentang pembinaan pegawai DJBC dengan kode etik dan penyelesaian pelanggarannya melalui komisi kode etik serta pemberian insentif kepada DJBC berdasarkan kinerja;
7.
Pengaturan pemberian penghargaan (reward) bagi yang berjasa;
8.
Pengaturan tentang bagi hasil dari cukai hasil tembakau kepada pemerintah daerah.







Semoga bermanfaat

Mr.sur